Pro Kontra Wacana Pengadilan Khusus Narkotika
Pro kontra wacana pembentukan pengadilan khusus narkoba bergulir di DPR.
Ada yang menilai, pembentukan pengadilan khusus narkoba dirasa sulit karena
harus membuat perangkat atau merevisi regulasi yang ada saat ini, UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terlebih,
hakim yang menangani khusus narkotika setidaknya mesti memiliki sertifikasi dan
pemahaman tentang kesehatan.
Wakil ketua Komisi III Aziz Syamsuddin berpendapat, wacana pembentukan
pengadilan khusus narkoba menarik untuk dicermati karena berpengaruh terhadap
Lapas. Apalagi penghuni Lapas lebih didominasi dengan kasus narkotika. Oleh
karena itu, ia menilai pengadilan khusus narkoba perlu dibentuk agar ada
kekhususan bahwa tidak semua pengguna dikenakan hukuman pemenjaraan tetapi
rehabilitasi.
“Menarik wacana itu, tapi kita lihat perkembangannya,” ujarnya, Kamis
(29/8).
Namun Aziz memberikan catatan. Menurutnya, wacana pembentukan pengadilan
khusus itu perlu melihat peraturan maupun perundangan terkait. Selain itu, kata
Aziz, hakim yang bertugas di pengadilan khusus itu bisa diambil dari pengadilan
negeri. “Soal penghukuman apakah di rehab atau dihukum antara pengedar dan
pengguna itu sudah ada di UU. Tapi soal pembentukan pengadilan ini bisa
disepakati atau tidak oleh stake holder, kita lihat nanti,” ujar
politisi Partai Golkar itu.
Anggota Komisi III Harry Witjaksono punya pandangan sama. Menurutnya,
pengadilan khusus narkotika diperlukan di kala kejahatan narkotika kian masif.
Ia membandingkan masifnya kejahatan narkotika tak jauh berbeda dengan
kejahatan korupsi. Maka itu, diperlukan pengadilan khusus, seperti pengadilan
Tipikor.
“Saya pikir boleh wacana itu dikembangkan karena narkotika itu sudah mulai
menjadi seperti korupsi dan teroris juga, sampai PP-nya dimasukan khusus. Jadi
menurut saya boleh juga wacana itu,” ujarnya.
Lebih jauh, ia berpandangan hakim yang nanti bertugas di pengadilan khusus
harus memiliki pengetahuan soal kejahatan narkotika. Selain itu, hakim mesti
memiliki pengetahuan dan wawasan soal kesehatan. Pasalnya pengetahuan dan
kualitas hakim mempengaruhi dalam memberikan vonis terhadap terdakwa kasus
narkotika, baik pengguna maupun pengedar.
“Perlu hakim itu memiliki pengetahuan tentang kesehatan terkait zat
adiktif,” katanya.
Anggota Komisi III lainnya Ahmad Yani dan Eva Kusuma Sundari berpandangan,
pengadilan khusus narkotika belum diperlukan. Menurut Yani, pengadilan khusus
maupun adhoc tak melulu menjawab setiap persoalan kejahatan yang
bersifat khusus. Terpenting, kata Yani, penguatan terhadap kredibilitas dan
pengetahun hakim.
“Kita jangan menjawab segala sesuatu dengan yang tidak permanen. Tetapi
institusi hukum dan penegakan hukum harus permanen. Tidak perlu menggunakan
pengadilan khusus,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.
Eva Kusuma Sundari menambahkan, pengadilan khusus narkotika bukan menjadi
jawaban dalam penanganan kejahatan narkotika. Menurutnya, mental hakim harus
diperkuat. Ia mencontohkan, pengadilan khusus Tipikor dipandang belum mampu
memberikan efek jera terhadap pelaku Tipikor. “Yang pengadilan Tipikor saja
tidak sesuai tujuannya untuk ngapokin para pelaku kok,” ujarnya
melalui pesan singkat kepada hukumonline, Jumat (30/8).
Menurut Politisi PDIP itu, Mahkamah Agung seharusnya fokus pada pembenahan
internal dalam memperbaiki kultur organisasi dan integritas para hakim. Ia
berpendapat, pengadilan khusus narkotika belum diperlukan. “Tidak usah
diteruskan (wacana pembentukan pengadilan khusus narkotika, red). Sakitnya thypus
kok diobati paracetamol,” ujarnya.
Terpisah, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) Anggara punya pandangan serupa dengan Yani dan Eva. Menurutnya, yang
menjadi persoalan saat ini adalah penguatan kapasitas dan kualitas hakim. Ia
berpendapat, pemberian sanksi berupa penghukuman maupun rehabilitasi, hakim
dapat merujuk pada SEMA No.4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,
Korban Penyalahgunaan dan Pencandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial.
"Menurut saya belum perlu pengadilan khusus itu. Kalau persoalan
mereka (hakim, red) sulit menentukan hukuman antara pengedar dan pengguna,
berarti mereka tidak memahami SEMA 4 Tahun 2010,” katanya.
Sebelumnya, dalam diskusi Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu
lalu penuh dengan perdebatan-perdebatan hukum seputar bagaimana melakukan
dekriminalisasi pengguna atau pemakai narkotika.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan para hakim agung berdiskusi dan
beradu argumen bagaimana menangani kasus narkotika ini sesuai dengan kerangka
hukum. Dalam diskusi itu muncul wacana pembentukan pengadilan khusus,
sebagaimana dua negara Amerika dan Australia yang memiliki pengadilan khusus
narkotika.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5220dbd8e9020/pro-kontra-wacana-pengadilan-khusus-narkotika