Kepahlawanan seorang anak bangsa bukan
diukur dari usia atau pangkat seseorang melainkan keikhlasan membela bangsa dan
negara tercinta walau dengan pengorbanan jiwa sekalipun. Demikianlah seorang
Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean. Meski masih muda dan berpangkat perwira
pertama, nama pria kelahiran Jakarta 21 Pebruari 1939 ini layak disejajarkan
dengan para seniornya yang telah perwira tinggi sebagai pahlawan Revolusi.
Pierre Tendean yang ketika itu
merupakan ajudan Jenderal AH. Nasution, salah satu jenderal yang menjadi
sasaran penculikan dan pembunuhan gerombolan PKI, mengaku bahwa dirinyalah
Nasution kepada gerombolan PKI demi menjaga keselamatan atasannya tersebut.
Kemiripan wajahnya dengan Jenderal
AH. Nasution ditambah suasana pagi yang belum begitu terang membuat gerombolan
PKI mempercayai pengakuannya sehingga membawanya sebagai Nasution. Dengan
demikian pengejaran terhadap Jenderal AH. Nasution yang sedang melarikan diri
pun dengan sendirinya berhenti. Tindakannya tersebut menjadi salah satu faktor
lolosnya Jenderal Nasution dari penculikan dan pembunuhan tersebut. Nasution
kemudian hari menjadi satu-satunya jenderal yang bisa menjadi saksi hidup dari
peristiwa berdarah tersebut.
Menjadi tentara sejak awal, sudah
menjadi cita-cita dari pria yang bernama lengkap Pierre Andreas Tendean ini.
Ayahnya yang seorang dokter sebenarnya menghendakinya mengikuti jejaknya. Namun
selepas menyelesaikan Sekolah Menengah Atas Bagian B di Semarang pada tahun
1958, dia kemudian masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) yang kemudian
berganti nama menjadi Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek) di Bandung.
Dengan tekad yang kuat di samping
watak yang baik membuat prestasinya di militer berhasil baik. Ketika masih
menjalani pendidikan, dia sudah diangkat menjadi komandan Batalyon Taruna serta
sebagai Ketua Senat Korps Taruna. Ketika masih Kopral Taruna, dia diberikan
tugas praktek lapangan di kesatuan Zeni Tempur Operasi Saptamarga di daerah
Sumatera Timur yang ketika itu sedang mengalami Pemberontakan PRRI/Permesta.
Menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni
Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan merupakan tugas pertamanya setelah
menamatkan pendidikan Akmil Jurtek-nya pada tahun 1962. Tugas ini dipegangnya
hanya setahun karena dirinya kemudian mengikuti pendidikan Sekolah Intelijen.
Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah intelijen, dia pun pernah melakukan
tugas penyusupan ke wilayah Malaysia yang ketika itu sedang bermusuhan dengan
Indonesia. Dan sejak April 1965, dia diangkat menjadi ajudan Menteri
Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/
Kasab) Jenderal AH. Nasution.
Ketika pemberontakan Gerakan 30
September PKI berlangsung dini hari 1 Oktober 1965, Pierre sedang tidur di
ruang belakang rumah Jenderal Nasution. Suara tembakan dan ribut-ribut
membuatnya terbangun dan berlari ke bagian depan rumah. Sementara gerombolan
PKI yang sudah kelabakan karena tidak menemukan Nasution yang sudah sempat
melarikan diri, kemudian bertemu dengan Pierre Tendean.
Kejelian dari seorang prajurit yang
sudah mengecap pendidikan intelijen ini dengan cepat menangkap adanya sesuatu
yang membahayakan jiwa atasannya. Sehingga ketika gerombolan PKI bertanya di
mana Nasution, dia dengan meyakinkan mengatakan dirinyalah Nasution. Kemiripan
wajah Pierre dengan Nasution ditambah remang-remangnya cahaya di pagi buta itu
membuat gerombolan PKI langsung percaya bahwa Pierre adalah Nasution lalu
membawanya pergi.
Besoknya, dia bersama enam perwira
lainnya ditemukan telah menjadi mayat di satu sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Ketujuh Perwira Angkatan Darat itu kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta. Kini namanya begitu harum semerbak sebagai seorang Pahlawan
Revolusi.
Atas jasa-jasanya kepada negara,
Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Andreas Tendean dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi berdasarkan SK Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, tgl 5 Oktober 1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar