Jumat, 13 Juni 2014

Kontradiksi Keputusan – Keputusan Terhadap Kejahatan Narkoba

= Dalam hal ini, saya mengambil dari salah satu berita yang berhubungan dengan Pro-Kontra dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika: 

Pro Kontra Wacana Pengadilan Khusus Narkotika
Pro kontra wacana pembentukan pengadilan khusus narkoba bergulir di DPR. Ada yang menilai, pembentukan pengadilan khusus narkoba dirasa sulit karena harus membuat perangkat atau merevisi regulasi yang ada saat ini, UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terlebih, hakim yang menangani khusus narkotika setidaknya mesti memiliki sertifikasi dan pemahaman tentang kesehatan.
Wakil ketua Komisi III Aziz Syamsuddin berpendapat, wacana pembentukan pengadilan khusus narkoba menarik untuk dicermati karena berpengaruh terhadap Lapas. Apalagi penghuni Lapas lebih didominasi dengan kasus narkotika. Oleh karena itu, ia menilai pengadilan khusus narkoba perlu dibentuk agar ada kekhususan bahwa tidak semua pengguna dikenakan hukuman pemenjaraan tetapi rehabilitasi.
“Menarik wacana itu, tapi kita lihat perkembangannya,” ujarnya, Kamis (29/8).
Namun Aziz memberikan catatan. Menurutnya, wacana pembentukan pengadilan khusus itu perlu melihat peraturan maupun perundangan terkait. Selain itu, kata Aziz, hakim yang bertugas di pengadilan khusus itu bisa diambil dari pengadilan negeri. “Soal penghukuman apakah di rehab atau dihukum antara pengedar dan pengguna itu sudah ada di UU. Tapi soal pembentukan pengadilan ini bisa disepakati atau tidak oleh stake holder, kita lihat nanti,” ujar politisi Partai Golkar itu.
Anggota Komisi III Harry Witjaksono punya pandangan sama. Menurutnya, pengadilan khusus narkotika diperlukan di kala kejahatan narkotika kian masif. Ia membandingkan masifnya  kejahatan narkotika tak jauh berbeda dengan kejahatan korupsi. Maka itu, diperlukan pengadilan khusus, seperti pengadilan Tipikor.
“Saya pikir boleh wacana itu dikembangkan karena narkotika itu sudah mulai menjadi seperti korupsi dan teroris juga, sampai PP-nya dimasukan khusus. Jadi menurut saya boleh juga wacana itu,” ujarnya.
Lebih jauh, ia berpandangan hakim yang nanti bertugas di pengadilan khusus harus memiliki pengetahuan soal kejahatan narkotika. Selain itu, hakim mesti memiliki pengetahuan dan wawasan soal kesehatan. Pasalnya pengetahuan dan kualitas hakim mempengaruhi dalam memberikan vonis terhadap terdakwa kasus narkotika, baik pengguna maupun pengedar.
“Perlu hakim itu memiliki pengetahuan tentang kesehatan terkait zat adiktif,” katanya.
Anggota Komisi III lainnya Ahmad Yani dan Eva Kusuma Sundari berpandangan, pengadilan khusus narkotika belum diperlukan. Menurut Yani, pengadilan khusus maupun adhoc tak melulu menjawab setiap persoalan kejahatan yang bersifat khusus. Terpenting, kata Yani, penguatan terhadap kredibilitas dan pengetahun hakim.
“Kita jangan menjawab segala sesuatu dengan yang tidak permanen. Tetapi institusi hukum dan penegakan hukum harus permanen. Tidak perlu menggunakan pengadilan khusus,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.
Eva Kusuma Sundari menambahkan, pengadilan khusus narkotika bukan menjadi jawaban dalam penanganan kejahatan narkotika. Menurutnya, mental hakim harus diperkuat. Ia mencontohkan, pengadilan khusus Tipikor dipandang belum mampu memberikan efek jera terhadap pelaku Tipikor. “Yang pengadilan Tipikor saja tidak sesuai tujuannya untuk ngapokin para pelaku kok,” ujarnya melalui pesan singkat kepada hukumonline, Jumat (30/8).
Menurut Politisi PDIP itu, Mahkamah Agung seharusnya fokus pada pembenahan internal dalam memperbaiki kultur organisasi dan integritas para hakim. Ia berpendapat, pengadilan khusus narkotika belum diperlukan. “Tidak usah diteruskan (wacana pembentukan pengadilan khusus narkotika, red). Sakitnya thypus kok diobati paracetamol,” ujarnya.
Terpisah, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara punya pandangan serupa dengan Yani dan Eva. Menurutnya, yang menjadi persoalan saat ini adalah penguatan kapasitas dan kualitas hakim. Ia berpendapat, pemberian sanksi berupa penghukuman maupun rehabilitasi, hakim dapat merujuk pada SEMA No.4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pencandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
"Menurut saya belum perlu pengadilan khusus itu. Kalau persoalan mereka (hakim, red) sulit menentukan hukuman antara pengedar dan pengguna, berarti mereka tidak memahami SEMA 4 Tahun 2010,” katanya.
Sebelumnya, dalam diskusi Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu penuh dengan perdebatan-perdebatan hukum seputar bagaimana melakukan dekriminalisasi pengguna atau pemakai narkotika.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan para hakim agung berdiskusi dan beradu argumen bagaimana menangani kasus narkotika ini sesuai dengan kerangka hukum. Dalam diskusi itu muncul wacana pembentukan pengadilan khusus, sebagaimana dua negara Amerika dan Australia yang memiliki pengadilan khusus narkotika.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5220dbd8e9020/pro-kontra-wacana-pengadilan-khusus-narkotika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar